Rasa trenyuh, prihatin atau sedih sepertinya tak nampak lagi di wajah Nanik (37). Bahkan air matapun seperti tak dapat lagi mengalir dari dua bola matanya. Kering. Penderitaan dan kesedihan yang datang bertubi-tubi, tidak hanya membuat ibu empat anak itu lebih tegar. Tidak hanya saat bercerita tentang kisah memilukannya, namun juga bagaina ia harus membanting tulang mencari nafkah, menghidupi seluruh anggota keluarganya.
Memulai berkisah, cerita ironis ini bermula dari lahirnya Wahid Zenanda (11), anak pertama Nanik dari hasil pernikahannya dengan Zaenuri (37). Sejak usia dua tahun, Wahid divonis menderita autism. Sejak saat itu pulalah, perjalanan sedih Nanik dimulai.
Diawali dari sikap sang suami yang seolah menyalahkannya karena dinilai merupakan kesalahan Nanik dalam mendidik anaknya tersebut. Dan sejak saat itulah sikap karyawan PT KA yang ditempatkan di Balai Yasa Tegal ini berubah, meski pada akhirnya tetap memberinya tiga anak yang lain, Gita (10), Lukman (4) dan Maharani (16 bulan).
Naluri keibuan Nanik terusik. Iapun berupaya melakukan pengobatan dan terapi. Tak terhitung biaya yang dikeluarkannya untuk mengunjungi Hembing ataupun Aa Gym di Jakarta dan
Sekitar dua setengah tahun lalu, Nanik memutuskan pindah ke
“Mertua dan suami saya malu mempunyai keturunan seperti itu. Jadi, sejak awal kedatangan kami, sambutan keluarga besar suami kurang mengenakkan,” terangnya.
Hanya sekitar tiga bulan, Nanik dan tiga anaknya saat itu terpaksa pindah. Mereka memutuskan tidur di emper masjid Mujahiddin, Sukun Banyumanik. Padahal, rumah mertuanya persis berhadapan dengan masjid tersebut. Berakhir sejak disiram air oleh pengurus masjid, ia dan keempat anaknya pindah menginap di warung-warung buah yang berada di depan markas Brimob.
Setiap malam, kelima ibu anak ini tidur berdempetan di warung yang sempit. Sementara siangnya, mereka harus pergi karena akan dipergunakan untuk berjualan. Dan jangan heran jika penampilan mereka saat itu lebih mirip gelandangan. Baju kumal dan badan bau karena jarang mandi.
Saat itulah permasalahan bertambah kompleks. Sebagai penderita autis, Wahid memiliki nafsu makan yang sedemikian besar. Uniknya, ia tidak mau makan sembarangan. Setiap kali ada pedagang makanan keliling, ia pasti minta dibelikan. Tidak hanya seporsi, namun bisa tiga hingga empat porsi. Bayangkan, bagaimana perasaan Nanik sebagai pekerja serabutan dalam mencukupi kebutuhan anak pertamanya tersebut, belum lagi ditambah dengan kebutuhan tiga anaknya yang lain.
“Kadang, ia minta jalan-jalan ke swalayan lalu minta makan food court. Perasaan saya hanya ketar-ketir jika uangnya tidak cukup. Pernah sekali makan, habis Rp 125 ribu, beruntung saya sedang punya uang,” terangnya pilu.
Beruntung kemudian, ia bertemu dengan keluarga Sulemah yang merupakan nenek dari teman sekolah Lukman di TK, dan ditawari untuk tinggal di rumahnya di RT 8/RW IX Srondol Kulon. Mulai saat inilah kehidupan mereka sedikit membaik. Setidaknya, mereka kini hidup layaknya keluarga, tinggal di sebuah ruangan yang layak huni.
Dan mulai saat itu pula, ia mulai memasak untuk anak-anak mereka dengan peralatan pinjaman. Pasalnya, dalam sehari ia mampu menghabiskan tiga kg nasi, 1,5 kg telur ayam dan 10 bungkus mie instan. Hal unik lainnya, Wahid selalu minta menonton TV dengan channel stasiun yang sama dan tidak boleh diganti. Jika diganti ia akan berteriak-teriak dan memukuli ibunya.
Berpikir cepat, Nanik akhirnya memutuskan untuk berhutang TV 14 inchi seharga Rp 600 ribu dengan cara mengangsur. Hal itu dilakukannya semata agar Wahid tidak mengamuk dan tidak berteriak. Akibatnya, tentu saja Nanik harus bekerja lebih keras lagi. Mulai dari buruh gendong di Pasar Babadan, burung angkut beras di Pasar Dargo semua dilakukannya. Beruntung ada dermawan yang memberinya modal untuk membuat bakso. Bebannyapun semakin ringan, meski tak seberapa besar.
Meski demikian ia tetap kesulitan ekonomi. Hasil kerja yang tak menentu, belum lagi keharusan untuk membawa Wahid ke RS untuk melakukan oksigenisasi setiap dua hari sekali, membuat ekonominya tak pernah membaik. Padahal sekali datang untuk oksigen, ia harus mengeluarkan kocek senilai Rp 680 ribu. Belum lagi ongkos taksi yang harus dikeluarkannya untuk pulang pergi seharga Rp 60 ribu.
“Sebagai penderita autis, Wahid harus mendapat perlakukan istimewa, ia tak mau makan
Beruntung berbagai pihak menunjukkan kepeduliannya. Selain Sulemah, si pemilik rumah yang merasa tak pernah terganggu dengan teriakan dan ulah Wahid, warga sekitarpun sudah memahami kondisi yang ada. Tak jarang, mereka datang memberikan bantuan ala kadar. Tidak hanya itu pula, beberapa anggota Komunitas Peduli Autisma Semarang, menunjukkan solidaritasnya.
“Kami sedang mengupayakan hal itu, termasuk jika mungkin ibu si anak yang ternyata adalah seorang sarjana psikologi pendidikan dari IKIP Veteran akan kami berdayakan sebagai relawan pengasuh. Namun jika itu terjadi, bagaimana dengan pemenuhan ekonomi mereka, karena ibu ini adalah tulangpunggung keluarga,” kata seorang relawan yang tak mau disebut namanya.
Bantuan lain diberikan oleh psikiater ternama, Ismed Yusuf. Menyadari kondisi keluarga ini, ia kini membebaskan biaya pengobatan terhadap Wahid. Padahal sekali berobat, setidaknya uang Rp 400 ribu akan habis dipergunakan.
“Sekarang Pak Ismed memberikan obat penenang untuk Wahid satu dus dengan jumlah ratusan biji, harganya Rp 400 ribu. Sekali minum empat pil, dan setelah minum, ia akan tertidur sehari semalam, bangun hanya untuk makan,” ujar Nanik.
Dilematis memang. Pasalnya, konsumsi obat yang berlebihan tentu kurang baik bagi kesehatan. Namun Nanik tak punya akal lain demi membuat anaknya tenang selain memberi pil penenang. Dengan pil itu pula, tingkat konsumsi Wahid menurun. Setiap hari, kini ia hanya mampu tidur dengan dengkuran yang cukup keras.
Masalah lain yang muncul adalah kondisi berat badan Wahid yang terus membengkak menjadi 137 kg, obesitas. Wajar memang. Pasalnya, kegiatan sehari-harinya hanya makan, tidur dan menonton TV. Namun dengan kondisi Nanik yang hanya buruh serabutan, mana mungkin ia sanggup terus menanggung beban berat kehidupannya. Sementara sang suami justru berencana menceraikannya. Adakah yang peduli dengan penderitaan Nanik dan Wahid? Tidakkah hati kita tergerak untuk membantu?
Nanik berfoto bersama tiga anaknya, Wahid (tidur), Lukman dan Maharani. Saat ini mereka menumpang di rumah milik Sulemah di Srondol Kulon. Foto: Nurul Wakhid
Tulisan ini dimuat di Harian Sore WAWASAN, edisi Selasa, 11 November 2008
Ditulis oleh seorang sahabat yang turut peduli : Nurul Wakhid
Sedikit tambahan :
Kondisi Wahid (si anak autis) saat ini sedang sakit; sejak Minggu sore badannya panas tinggi, dari mulutnya keluar busa berwarna hitam. Ibunya berkeras untuk merawatnya sendiri dengan memberinya daging lidah buaya. Hari ini (Selasa) pagi, meski masih keluar busa, warnanya sudah putih. Mohon do'anya ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar